Indore, Barkeley, Windrow (?) : Beberapa metode pengomposan
Metode Pengomposan
Berdasarkan cara pembuatannya, terdapat beberapa macam metode pengomposan, yaitu metode indore, metode Barkeley, serta metode windrow (Sugiarti, 2011).
Metode Indore
Metode indore cocok diterapkan pada daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Bahan organik yang digunakan pada metode ini adalah campuran sisa tanaman dan kotoran ternak, dimana lama waktu proses pengomposannya yaitu 3 bulan. Proses pengomposan dengan metode indore dibagi menjadi dua jenis, yaitu indore heap method (bahan dikomposkan di atas tanah) dan indore pit method (bahan dipendam di dalam tanah).
Pada pengomposan dengan metode indore heap, bahan-bahan yang akan dikomposkan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ketebalan 10-25 cm per lapis, dimana bagian atasnya ditutupi dengan kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses pengomposan. Sedangkan pengomposan dengan metode indore pit, bahan dasar kompos yang digunakan adalah kotoran ternak dan disebar secara merata di dalam lubang tanah dengan ketebalan 10-15 cm. bahan-bahan kompos tersebut disusun secara berlapis-lapis dan dilakukan penambahan air secukupnya yang bertujuan untuk menjaga kelembaban bahan.
Metode Barkeley
Pengomposan dengan metode Barkeley menggunakan bahan-bahan organik dengan rasio C/N tinggi, seperti jerami dan serbuk gergaji. Bahan-bahan tersebut dikombinasikan dengan bahan organik yang mempunyai rasio C/N rendah, selanjutnya bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan ukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Lapisan paling bawah adalah bahan organik dengan rasio C/N rendah, dan diatasnya ditumpuk dengan bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi.
Metode Windrow
Pada proses pengomposan dengan metode windrow, bahan baku kompos ditumpuk memanjang dengan tinggi tumpukan 0,6-1 meter, lebar 2-5 meter, serta panjang 40-50 meter. Metode ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami, dimana optimalisasi tinggi, lebar, dan panjang tumpukan kompos dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, kelembaban, ruang pori, serta sirkulasi udara untuk mencapai bagian tengah tumpukan kompos. Tumpukan kompos tersebut harus dapat melepaskan panas agar dapat mengimbangi pengeluaran panas yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme pengurai. Pada metode windrow ini, dilakukan proses pembalikan secara periodik dengan tujuan untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban bahan kompos.
Komposisi Bahan Baku Kompos
Komposisi bahan baku kompos yang terdiri dari pencampuran bebagai bahan organik merupakan faktor penting untuk menghasilkan kompos dengan kualitas baik serta mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap. Material bahan organik yang ditambahkan dapat berbentuk substrat basah yang berasal dari lumpur, jerami, serbuk gergaji, serta sampah organik.
Menurut Indriani (2011), pengomposan dari beberapa macam bahan organik dapat mempercepat laju dekomposisi kompos serta menambah kandungan unsur hara dari kompos yang dihasilkan. Pengomposan bahan organik yang berasal dari limbah tanaman dapat berlangsung lebih cepat apabila ditambahkan dengan kotoran hewan. Beberapa limbah tanaman, seperti jerami memiliki kandungan karbon, selulosa, serta lignin yang tinggi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk didekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Budiarta (2016) yang menyatakan bahwa proses pengomposan limbah tanaman padi (jerami) yang hanya ditambahkan larutan bioaktivator tanpa adanya campuran bahan organik lain membutuhkan waktu dekomposisi selama 84 hari, sehingga penambahan kotoran hewan yang mengandung nitrogen tinggi penting dilakukan agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat. Menurut Atmaja (2016), pengomposan limbah tanaman padi (jerami) yang ditambahkan dengan kotoran ayam membutuhkan waktu dekomposisi selama 63 hari.
Selain mempercepat waktu pengomposan, penambahan bahan organik juga bertujuan untuk menghasilkan kompos dengan rasio C/N yang sesuai dengan rasio C/N tanah (10-12). Menurut Yuwono (2006), hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perbandingan yang bervariasi, misalnya satu bagian bahan yang mempunyai kandungan unsur karbon tinggi dengan 2 bagian bahan yang mengandung karbon rendah.
Jerami
Jerami adalah hasil sampingan dari usaha pertanian berupa tangkai dan batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijinya dipisahkan. Jerami merupakan limbah pertanian terbesar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tambahan pada tanah. Namun, jerami sering dipandang menjadi permasalahan bagi petani, sehingga solusi yang sering dilakukan adalah dengan membakar limbah tersebut atau hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif saat musim kering akibat sulitnya mendapatkan hijauan. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi dimanfaatkan sebagai penambah unsur hara apabila dikembalikan ke dalam tanah. Menurut Ekawati (2003), jerami padi memiliki kandungan hara yang berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Jerami padi tergolong bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi. Bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan sifat-sifat fisik tanah. Namun, bahan organik dengan rasio C/N tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami proses pengomposan sehingga membutuhkan campuran bahan organik lain seperti kotoran ternak yang mempunyai rasio C/N rendah agar proses pengomposan dapat berjalan optimal.
Selain rasio C/N tinggi, jerami padi juga memiliki kandungan selulosa dan lignin yang tinggi sehingga sulit didekomposisi oleh mikroorganisme. Maka dari itu, diperlukan suatu dekomposer yang mempunyai aktivitas selulolitik tinggi dengan dikeluarkannya enzim selulose. Penambahan jerami yang sudah diolah menjadi kompos secara konsisten dalam jangka panjang dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah.
Kotoran Ayam
Kotoran ayam merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivitas peternakan ayam, baik itu jenis ayam pedaging maupun ayam petelur. Komposisi kotoran ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat fisiologis ayam, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban, serta ransum yang dimakan. Dalam pemeliharaan ayam menghasilkan limbah berupa kotoran yang mempunyai kandungan hara serta nutrisi yang cukup tinggi. Kotoran ayam memiliki kandungan unsur nitrogen dan mineral tinggi khususnya pada urin, sedangkan pada buangan padat mempunyai kandungan protein yang tinggi. Menurut Sidabutar (2012), unsur protein yang tinggi pada kotoran ayam merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme. Berikut disajikan tabel tentang kandungan hara kotoran ayam.
Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, dan pertumbuhan tanaman (Tufaila, 2014). Kotoran ayam mempunyai kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi serta kadar air yang rendah. Menurut Suryani (2010), jumlah kotoran yang dihasilkan setiap harinya oleh satu ekor ayam adalah 0,06 kg, dengan kandungan bahan kering sebanyak 26%. Menurut Sidabutar (2012), pakan yang diberikan pada ayam mempunyai kandungan gizi yang terdiri dari protein (28%), lemak (2,5%), serat kasar (4%), kalsium (1%), dan posfor (0,9%). Pakan dengan kualitas gizi tersebut menghasilkan limbah berupa feses yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, selain itu sistem pencernaan unggas lambung tunggal dan proses penyerapan berjalan cepat dan tidak sempurna sehingga banyak kandungan nutrisi yang belum terserap dan dibuang bersama dengan feses.
Penggunaan bahan organik kotoran ayam memiliki beberapa keuntungan diantaranya mampu meningkatkan kadar N, P, K pada tanah masam berkadar bahan organik rendah. Selain itu, menurut Widowati (2005), penggunaan kompos kotoran ayam selalu memberikan respon tanaman terbaik pada musim pertama.
Hal tersebut terjadi karena kompos kotoran ayam mengalami dekomposisi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kompos dari kotoran ternak lainnya.
Suhu pada Proses Pengomposan
Suhu merupakan indikator yang menunjukkan aktivitas mikroorganisme pengurai selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam proses pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan bahan kompos. Panas dihasilkan oleh mikroorganisme saat proses perombakan bahan organik. Ketika proses dekomposisi bahan organik diawal fase pengomposan semakin cepat, maka panas yang dihasilkan akan meningkat semakin cepat. Pada saat proses pengomposan berakhir, bahan organik yang didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sudah habis sehingga terjadi penurunan suhu pada tumpukan kompos. Menurut Isroi (2008), pada proses pengomposan secara aerob akan terjadi peningkatan suhu yang cukup kuat selama 3-5 hari pertama dan suhu tumpukan kompos dapat mencapai 30-60oC. Kisaran suhu tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme, dimana mikroorganisme pengurai dapat berkembangbiak sampai tiga kali lipat sehingga aktivitas perombakan bahan organik menjadi semakin cepat.
Secara umum, kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan, yaitu tahap aklimasi, tahap termofilik, serta tahap pematangan kompos. Proses pengomposan diawali dengan tahap aklimasi, yaitu proses penyesuaian suhu bahan kompos, dimana pada tahap ini terjadi peningkatan suhu pada campuran bahan organik yang digunakan sebagai kompos. Tahap selanjutnya adalah tahap termofilik, dimana mikroorganisme yang terlibat pada tahap ini dapat hidup pada suhu 40-60oC dan bertujuan untuk mendegradasikan bahan organik secara cepat dengan cara mengkonsumsi karbohidrat dan protein. Pada tahap ini proses dekomposisi mulai melambat dan ditandai dengan tercapainya suhu puncak sehingga bahan organik lebih mudah didekomposisikan. Tahap terakhir adalah tahap pematangan kompos. Pada tahap ini mikroorganisme termofilik akan mengalami kematian akibat kenaikan suhu diatas 60oC dan digantikan oleh mikroorganisme mesofilik. Apabila suhu maksimum sudah tercapai serta seluruh aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses dekomposisi terhenti, maka suhu akan turun kembali sampai mencapai kisaran suhu awal. Pada tahap ini kompos sudah terbentuk dan siap digunakan (Djuarnani, 2005).
Kadar Air pada Proses Pengomposan
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis). Banyaknya kadar air dalam suatu bahan dapat diketahui bila suatu bahan dipanaskan pada suhu 1050C. Menurut Djuarnani (2005), kandungan kadar air timbunan kompos secara menyeluruh sekitar 40-60%. Kandungan kadar air optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Apabila kondisi jumlah kadar air terlalu tinggi pada tumpukan kompos, maka pertumbuhan mikroorganisme pengurai dapat terhambat karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Sedangkan jika kadar air pada tumpukan kompos terlalu rendah, maka dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai (Kusuma, 2012).
Kadar air merupakan salah satu faktor yang menunjukkan bahwa proses pengomposan berjalan cepat atau lambat (Som et al, 2009). Kadar air mempunyai peranan dalam rekayasa pengomposan karena dekomposisi bahan-bahan organik tergantung pada ketersediaan kandungan air, maka dari itu kadar air menjadi faktor penting pada proses pengomposan. Apabila kandungan kadar air terlalu tinggi maupun rendah akan mengurangi efisiensi proses pengomposan. Menurut Murbandono (2008), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara 50-60%. Jika kadar air melebihi 60%, maka laju dekomposisi bahan organik menjadi melambat, sedangkan apabila kadar air dibawah 40% akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses pengomposan terhenti.
Kandungan kadar air pada kompos dapat diukur secara gravimetri dengan menentukan penurunan berat sampel setelah ditempatkan pada oven dalam waktu tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa terjadi kehilangan sejumlah air selama proses pengeringan. Menurut Murbandono (2008), prinsip metode gravimetri menyatakan bahwa air yang terkandung dalam kompos akan mengalami penguapan apabila bahan kompos tersebut dipanaskan pada suhu 105oC selama waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Selisih antara berat kompos sebelum dan sesudah dipanaskan merupakan kadar air yang terkandung dalam kompos
Tidak ada komentar: